Asal-usul nama Kota Tanah Grogot[1]  berdasarkan cerita setempat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa  sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara WajoLa  Patau Matanna TikaArung Matoa Wajo La SalewangengLa Madukelleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah  menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu  sering mengadakan pesta sabung ayam.  dikisahkan ketika Raja Bone  untuk menghadiri pesta  melubangi telinga putrinya. Bersamaan dengan itu ikut pula  mengundang 
Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam  penyelenggaraan acara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh  ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan  mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini  menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang  mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di  pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada  Wajo agar La Madukelleng menyerahkan diri untuk  mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dianggap salah. Akan  tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum  Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La  Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk  menghindari balas dendam yang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.
La Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan  tiga ujung; ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk  bertarung, dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di  negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan  modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang  bangsawan menengah, yaitu La  Mohang Daeng Mangkona, La  Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke,  La Siareje,  Daeng  Manambung, La  Manja Daeng Lebbi, La  Sawedi Daeng Sagala, dan La  Manrappi Daeng Punggawa berangkat dari Paneki, dan pada awalnya  menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di  wilayah Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai  Kandilo selama sepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan  diangkat menjadi Raja di Kerajaan  Wajo.
Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di  tanah Sulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah  diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pula  warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak  rombongan La Madukelleng untuk berlayar menuju tanah  Paser, sementara sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng  Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi  cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut  banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu  bermukim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.
Dalam keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di  pinggiran Sungai  Kandilo sering mendengar suara arus yang sangat deras dari arus  sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orang  Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E  (Geroro-E : suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan  Kerajaan Paser pada saat itu kemudian sering menyebut dengan Tanah  Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakal sebutan  Kota Tanah Grogot.
Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang  bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang  tertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot  sekitar tahun 1829  M. Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah  cukup ramai dan strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander  Van Soow mengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser  untuk meminta ijin membangun sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk  menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidah  orang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada  akhirnya disebut Tanah Grogod.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebutan Tanah Grogod  tersebut lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot.  Dengan berjalannya waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai  setelah dihuni oleh orang Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan  sebagainya yang menyebabkan penduduk Kota Tanah Grogot semakin banyak.  Penduduk tersebut lebih dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga  kebudayaan mereka cepat membaur dengan penduduk asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan  bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota  Tanah Grogot. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya  penduduk yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus berkembang pesat.  Pada akhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 pada tanggal  29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibukota Kabupaten Paser
Sumber : http://id.wikipedia.org 
Posting anda bermanfaat, buktinya saya baru tahu asal-usul nama Tanah Gerogot itu dari tanah geroro-E. Bagus pak, lanjutkan !
BalasHapus